Ibas Bicara Pentingnya Kolaborasi Antarnegara di Dunia

Istimewa

Kolaborasi Antarnegara di Dunia – Saat Edhie Baskoro Yudhoyono, atau yang akrab disapa Ibas, angkat bicara soal kolaborasi antarnegara di bidang pendidikan, banyak yang hanya sekadar mengangguk tanpa menggali lebih dalam. Padahal, pernyataannya bukan sekadar basa-basi politik atau di plomasi normatif. Ini adalah panggilan keras: bahwa Indonesia harus berhenti hanya menjadi penonton dalam panggung besar dunia pendidikan global.

Kolaborasi lintas negara bukan soal berbagi ruang kelas dalam konferensi akademik semata. Ini menyangkut pertukaran ide, teknologi pendidikan, kurikulum berbasis masa depan, hingga solusi konkret terhadap kesenjangan akses pendidikan yang masih nyata di berbagai penjuru nusantara. Ibas menegaskan, jika Indonesia ingin mengejar ketertinggalan, kolaborasi adalah pintu yang tak bisa di hindari—atau kita akan semakin terpinggirkan oleh negara-negara yang sudah lebih dulu menanamkan akar kemitraan internasional dalam sistem pendidikannya.

Kenyataan Pahit: Pendidikan Kita Tertinggal, Tapi Masih Egois

Fakta di lapangan menunjukkan pendidikan Indonesia masih terkungkung oleh masalah klasik—kualitas guru yang timpang, fasilitas yang jomplang, hingga ketimpangan antara kota dan desa. Namun ironisnya, keengganan untuk membuka diri terhadap praktik terbaik dari luar negeri masih terasa kental. Terlalu banyak institusi yang sibuk dengan egonya, merasa cukup dengan kebijakan internal, tanpa sadar dunia luar sudah melaju jauh dengan inovasi dan sistem yang lebih progresif.

Ibas menyoroti bahwa kolaborasi bisa jadi alat pemutus siklus ketertinggalan ini. Bayangkan jika kampus-kampus Indonesia aktif menjalin kerja sama riset dengan universitas top dunia slot server thailand, atau jika guru-guru lokal diberi akses pelatihan dari lembaga internasional. Ini bukan hanya soal prestise, tapi tentang membuka ruang pembelajaran yang selama ini terkunci rapat.

Bangun Jembatan, Bukan Tembok

Saat negara-negara lain membangun jembatan antarbudaya dan antarilmu, Indonesia justru masih sibuk memperkuat tembok birokrasi yang menyulitkan kerja sama global. Narasi yang di bawa Ibas mengingatkan bahwa dunia pendidikan tidak bisa hidup dalam isolasi. Dunia sudah saling terhubung—teknologi, pemikiran, bahkan tantangan global seperti krisis iklim dan transformasi digital menuntut kolaborasi multidisipliner lintas negara.

Ini bukan soal kebarat-baratan atau kehilangan jati diri. Ini soal kesiapan menghadapi masa depan yang kompleks. Ibas memberi sinyal jelas bahwa membuka diri terhadap kerja sama global bukan bentuk kelemahan, melainkan strategi jitu.

Jika pendidikan adalah senjata masa depan, maka kolaborasi adalah amunisinya. Dan Indonesia, jika ingin memenangkan pertarungan ini, tak bisa lagi berdiri sendirian. Sudah saatnya bergerak, atau kita akan di libas oleh gelombang perubahan yang tak pernah menunggu.